16 Oktober 2017

CARA PEMIJAHAN INDUK IKAN NEON TETRA


Keberhasilan pemijahan ikan neon tetra diindikasikan oleh banyaknya telur yang dihasilkan dengan kualitas yang baik. Pemijahan ikan neon tetra berlangsung secara alami. Pada kondisi tersebut keberhasilan pemijahan lebih banyak ditentukan oleh teknik manipulasi lingkungan. Oleh karena itu, untuk menghasilkan telur yang baik, selain penanganan calon induk harus dilakukan dengan hati-hati dan pemberian pakan yang tepat, juga penanganan kualitas air harus dilakukan dengan baik.

PENYIAPAN WADAH
       Wadah yang diperlukan untuk pemijahan berupa akuarium yang berukuran 15x15x15 cm atau 25x15x15 cm. Akuarium terbuat dari kaca dengan ketebalan 5 mm. Akuarium ini selanjutnya juga digunakan sebagai wadah untuk penetasan telur dan pemeliharaan larva. Sebelum digunakan akuarium harus dibersihkan.
       Akuarium yang berukuran lebih kecil diisi dengan air tandon lama setinggi 7 cm sehingga volume air dalam wadah sebanyak 15 liter. Akuarium yang berukuran lebih besar diisi air tandon lama dengan ketinggian 4 – 5 cm. Maksud pengisian air sebatas 7 cm atau 4-5 cm ini adalah untuk memberikan tekanan agar induk tidak memakan telur yang telah dikeluarkannya karena ikan neon tetra termasuk ikan charasin yang tidak merawat telurnya (non parental care). Wadah yang telah diisi dibiarkan sehari semalam agar air lebih stabil, sehingga pengisian air dilakukan sehari sebelum penebaran induk dilakukan.


PENEBARAN INDUK
       Pemijahan ikan Neon Tetra dilakukan secara alami, yaitu induk betina mengeluarkan telur yang diikuti dengan induk jantan yang mengeluarkan sperma di dalam akuarium pemijahan yang telah disiapkan sebelumnya.
       Ikan yang telah diseleksi dimasukkan ke dalam akuarium pemijahan untuk dipijahkan secara berpasangan pada waktu sore hari. Perbandingan jumlah induk jantan dan betina adalah 1:1 atau 2:1.
       Induk yang dimasukkan terlebih dahulu adalah induk jantan, selang satu jam kemudian dimasukkan induk betina. Apabila menggunakan rasio jantan betina 1:1 dipakai akuarium ukuran 15x15x15 cm, sedangkan untuk rasio      2:1 digunakan akuarium ukuran 25x15x15 cm. Perbandingan dimana jantan lebih banyak dimaksudkan untuk memperbesar derajat pembuahan telur.

PEMIJAHAN
       Ikan neon tetra memijah pada malam hari dalam keadaan gelap yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam. Untuk menyesuaikan dengan habitat asal maka akuarium pemijahan ditutup dengan plastic  warna hitam sampai keadaan benar-benar gelap. Penutupan dengan plastik warna hitam ini dapat dilakukan juga pada rak pemijahan dengan prinsip sama yaitu terciptanya suasana gelap. Sedikit cahaya saja yang berhasil menembus masuk ke dalam akuarium bisa dipastikan bahwa ikan tetra tidak akan memijah. Selama pemijahan berlangsung induk tidak diberi makan agar proses pemijahan dan telur yang dihasilkan tidak terganggu oleh sisa-sisa pakan.



SUMBER:
Sudrajat A. Oman, 2003.  Modul Pemijahan Induk Ikan Neon Tetra. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

REFERENSI:
Ahmad Fadly, 2003. Pembenihan Ikan Neon Tetra (Pi) di Tejar Akuarium Sawangan Depok.
Aloa Yudha Satia, 2003. Pembenihan Ikan Neon Tetra (Hi) di Sawangan Depok.
Indri Sri Anggraeni, 2002. Pembenihan Ikan Neon Tetra (Paracheisodon innesi) di CV. Citra Mina FF Sawangan Bogor.
Jumriati, 2003. Pembenihan Ikan Neon Tetra di Sawangan Depok.
Lesmana, D. S, dan I. Dermawan. 2001. Budidaya Ikan Hias Air Tawar Populer. Penebar Swadaya.
Lukman Nur Hakim. 2002. Pembenihan Ikan Neon Tetra Merah (Paracheisodon innesi) di CV Citra Mina FF. Sawangan Depok.
Sabtunah, 2002. Pembenihan Ikan Neon Tetra di CV Citra Mina FF Sawangan Depok.
Wahyuni, S., dan A. Fauzi. 2000. Ikan Hias Air tawar : Red Phantom Tetra. Penebar Swadaya.

13 Oktober 2017

CARA BUDIDAYA IKAN CUPANG


Cupang juga tak perlu dibahas. Mulai anak TK hingga siswa SLA tahu. Karena ikan hias yang bernama latin Betta sp. ini sudah menjadi mainan mereka, dan cupang ini banyak dijual di toko-toko ikan hias, penjual ikan hias jalanan, juga pedagang keliling. Selain sebagai binatang adu, ikan ini juga sebagai hiasan.

Beda jantan dan betina
Beda jantan dan betina ikan cupang sangat jelas. Bisa dari jauh dan tidak perlu dipegang. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari warna, bentuk sirip, bentuk perut dan gerakan. Betina ditandai dengan warna tubuh yang lebih gelap atau kusam, sirip-siripnya lebih pendek dari jantan, perut lebih gendut dan tidak banyak bergerak atau tidak banyak berlaga. Sedangkan jantan bertubuh lebih terang dari betina, sirip lebih panjang, perut ramping dan lebih banyak bergerak atau berlaga. Induk jantan dan betina mulai dipijahkan setelah berumur 6 bulan.

Pematangan gonad
Pematangan gonad dilakukan dalam akuarium kecil atau toples. Caranya, siapkan dua akuarium ukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm dan tinggi 20 cm atau toples dengan volume 2 – 3 liter (satu untuk jantan dan satu untuk betina); keringkan selama 2 hari; isi air setinggi 15 cm, masukan satu ekor induk jantan atau betina; beri pakan berupa cacing secukupnya cacing rambut atau cacing sutra.

Pemijahan
Pemijahan dilakukan di akurium atau toples. Caranya, siapkan dua akuarium ukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm dan tinggi 20 cm atau toples dengan volume 2 – 3 liter (satu untuk jantan dan satu untuk betina); keringkan selama 2 hari; isi air setinggi 15 cm; masukan serumpun eceng goduk sebagai pelindung; masukan satu ekor induk jantan; masukan induk betina; biarkan memijah.
Catatan : Proses pemijahan diawali dengan pembuatan sarang oleh induk jantan berupa buih di permukaan air. Selanjutnya mengajak betina untuk memijah. Pemijahan bisa terjadi kapan saja, bisa pagi, siang, sore atau malam. Bila sudah memijah ditandai dengan adanya telur di dalam busa dan jantan berada di permukaan, menunggui telur sambil mengibas-ngibaskan siripnya. Telur akan menetas dalam waktu 24 – 36 jam dan mulai berenang setelah berumur 5 – 6 hari. Satu ekor induk betina bisa menghasilkan larva sebanyak 500 – 1.500 ekor.

Pendederan
Pendederan dilakukan di akuarium atau toples yang sama. Caranya, tangkap induk jantan dan masukan kembali ke tempat pematangan gonad; tangkap juga induk betina dan masukan ke tempat pematang gonad; larva yang sudah berumur 6 hari diberi pakan berupa infusoria, atau rotifera, atau naupli artemia; panen setelah satu bulan.

Pendederan II dan III
Pendederan II dilakukan di akuarium atau toples lain. Caranya, siapkan sebuah akuarium ukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm dan tinggi 20 cm atau toples dengan volume 2 – 3 liter; keringkan selama 2 hari; isi air setinggi 15 cm, masukan 30 ekor benih yang berasal dari tempat pendederan; beri pakan berupa cacing rambut atau cacing sutra sesuai takaran; panen setelah satu bulan. Pendederan II dilakukan seperti pendederan II, tetapi dengan kepadatan 20 ekor.

Pembesaran
Pembesaran dilakukan di akuarium atau toples lain. Caranya, siapkan sebuah akuarium ukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm dan tinggi 20 cm atau toples dengan volume 2 – 3 liter; keringkan selama 2 hari; isi air setinggi 15 cm, masukan 10 ekor benih yang berasal dari tempat pendederan; beri pakan berupa cacing rambut atau cacing sutra sesuai takaran; panen setelah dua bulan. Ikan siap dijual.

SUMBER:
http://bdp-unhalu.blogspot.coM
http://agusrochdianto.wordpress.com
http://ebookbrowsee.net

12 Oktober 2017

PENGELOLAAN PAKAN PADA PEMBENIHAN IKAN KERAPU


Pengelolaan pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pemeliharaan larva. Pemberian pakan tepat waktu, tepat kualitas dan tepat jumlah merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan pemberian pakan ikan kerapu bebek. Larva yang baru menetas masih memiliki kuning telur yang menempel di tubuhnya yang merupakan cadangan makanan untuk larva tersebut (Gambar 1).


Adanya kuning telur yang menempel di tubuh menunjukkan bahwa larva belum membutuhkan pakan dari luar.   Setelah kuning telur habis ikan membutuhkan pakan dari luar.  Selama pemeliharaan larva ikan membutuhkan pakan alami berupa rotifera dan artemia serta pakan buatan.
Pakan larva awal berupa rotifera tipe s yang diberikan pada malam di hari ke dua setelah menetas.  Rotifera diberikan dengan padat penebaran 5-10 ind/ml disesuaikan dengan besar larva.  Rotifera diberikan mulai dari hari ke 2 sampai hari ke 20.  Selama pemberian rotifera, kepadatan rotifera di cek pada pagi dan sore hari. Pengecekan dilakukan dengan cara melakukan sampling pada tiga-lima titik.  Sampling dilakukan dengan cara mengambil volume air sebanyak 0.1 ml dengan menggunakan mikropipet.  Air sampling tersebut ditaruh di gelas objek dan beri larutan lugol.  Pemberian larutan lugol dilakukan untuk mematikan rotifera sehingga memudahkan dalam menghitung rotifera. 

Rotifera dihitung dengan menggunakan mikroskop.  Jika jumlah rotifera di wadah pemeliharaan larva kurang dari 5/ml maka harus ditambahkan agar genap menjadi l5 ind/ml.
Dengan semakin besarnya larva maka pakan alami yang ukurannya lebih besar dari rotifera harus diberikan. Oleh karena itu, pada hari ke 15 disamping rotifera larva juga mulai diberi artemia. Artemia dipersiapkan sesuai dengan prosedur modul penetasan artemia. Artemia diberikan mulai dari hari ke-15 sampai dengan hari ke-35. Jumlah artemia yang diberikan disesuaikan dengan ukuran larva.  Pada awal pemberian Artemia diberikan dengan kepadatan antara 0.3 ind./ml  sampai dengan 3 ind/ml.
Selain pakan alami, larva ikan kerapu juga sudah mulai diadaptasikan dengan pakan buatan yang berupa mikro pelet.  Mikro pelet ini dapat diberikan bersamaan dengan pemberian pakan alami.  Mikro pelet yang diberikan ukurannya disesuaikan dengan ukuran larva.  Mikro pelet berukuran mulai dari 200 sampai dengan 2000 mikron. Mikro pelet diberikan mulai dari hari ke-15 sampai dengan hari ke-45. Mikro pelet diberikan dengan dosis 1-2 ppm. Dan jumlahnya ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan.  Pada saat pemberian artemia dihentikan mikropelet diberikan dengan metoda sampai ikan kenyang.  Pada hari ke-45 benih ikan kerapu dapat dipanen.

SUMBER:
Sumantadinata K., 2003.  Modul Pemeliharaan Larva sampai Benih Ikan Kerapu Bebek. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

REFERENSI:
Randall, J.E. 1987.  A Preliminary Synopsis of the Groupers (Perciformes, Serranidae, Epinephelinae) of the Indo Pasific Region. In Polovina J.J and S. Ralston (Eds.): Tropical Snapper and Groupers, Biology and Fisheries Management.  Westview Press. Inc. London. 
Subyakto, S. dan S. Cahyaningsih.  2003.  Pembenihan Kerapu Skala Rumah Tangga.  PT Agromedia Pustaka, Depok.
Sunyoto, P. dan Mustahal. 2002. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis: Kerapu, Kakap, Beronang. Penebar Swadaya, Jakarta.

11 Oktober 2017

PERSIAPAN BAK PADA PEMBENIHAN IKAN KERAPU

PERSIAPAN BAK PADA PEMBENIHAN IKAN KERAPU


Bak yang digunakan untuk pendederan ikan kerapu dapat berupa bak beton,fiberglass, bak kayu dilapisi plastik atau akuarium.  Ukuran bak dapat bermacam-macam dan biasanya dapat menentukan kepadatan dan ukuran benih yang akan ditebar. Hal yang harus diperhatikan adalah kemudahan dalam pengaturan aerasi dan pengelolaan air pada bak tersebut.  Jadi bak harus dilengkapi dengan pipa pemasukan dan pipa pengeluaran air. Bak yang digunakan untuk pendederan kerapu ini dapat berbentuk bulat atau empat persegi panjang.
Salah satu gambaran bentuk bak yang digunakan untuk pendederan kerapu adalah bak beton berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 1,2 m x 4 m x 0,8 m yang dapat diisi air sekitar 2,5-3,5 m3. Pada bak ini dapat ditebar 2500-3500 ekor benih kerapu yang berukuran 1.5–3 cm  atau dengan padat tebar sekitar 1 ekor/liter. Pada salah satu sisi panjang bak pendederan ini dilengkapi dengan pipa PVC ¾ inci sebagai saluran aerasi.  Pipa saluran aerasi diberi lubang sebanyak 4 buah dengan jarak antar lubang dibuat sama. Selang aerasi yang digunakan berdiameter 1/16 inci, setiap selang aerasi dilengkapi dengan batu aerasi dan pemberat.  Jarak batu aerasi dengan dasar bak sebaiknya 5-10 cm. 
Pada bak beton tersebut dibuatkan saluran pemasukan untuk memasukkan air dari bak tandon, dapat berupa pipa PVC berukuran ¼ inci yang dilengkapi dengan keran. Disamping itu disalah satu sisi bagian yang lain dibuatkan saluran pengeluaran yang terbuat dari bahan pipa  PVC dengan diameter 2 inci yang dilengkapi pula dengan keran.  Dasar bak dibuat miring 2-3% ke arah pembuangan.
Bak beton
 
 Penggunaan bak dari bahan fiberglass umumnya berukuran 2.5 m x 1.2 m x 0.7 m yang dapat diisi air sekitar 2 m3, hanya dapat ditebari benih ikan kerapu sebanyak 2000 ekor per wadah dengan kepadatan dan ukuran benih yang sama.  Bak ini juga dilengkapi dengan pipa pemasukan dan pengeluaran air serta selang aerasi. 
Sebelum benih ditebar, bak pemeliharaan dan peralatan yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu. Bak pendederan disiram dengan desinfektan berupa larutan kaporit 100-150 ppm pada seluruh sisi bagian dalam bak dan didiamkan selama 24 jam. 



Penyiraman dengan kaporit ini untuk mempermudah pekerjaan membersihkan dasar dan dinding bak dari kotoran yang menempel.  Setelah itu bak dan peralatan disikat dan dibilas dengan menggunakan air tawar sampai bau kaporit hilang, kemudian dikeringkan selama sehari. Kegiatan pembersihan ini bertujuan pula agar semua organisme yang menempel atau bakteri di dinding bak dan peralatan lainnya mati. Setelah bersih, bak diisi air laut dan diaerasi selama 2 hari sebelum digunakan.

SUMBER:
Sumantadinata K., 2003.  Modul Penyiapan Bak dan Air Pendederan Kerapu Bebek. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

REFERENSI:
Akbar, S. 2001.  Pemilihan Lokasi Budidaya Pembesaran Kerapu Macan (Ephinephelus fusacogutattus) dan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) di Karamba Jaring Apung.  Balai Budidaya Laut Lampung.  Lampung
Aslianti, T., Wardoyo, J.H. Hutapea, S. Ismi, K.M. Setiawati. 1998.  Pemeliharaan Larva Kerapu Bebek (Cromileptes altivalis) dalam Wadah Berbeda Warna.  Jurnal  Penelitian Perikanan  Pantai, Vol. IV, No. 3: 25-30.
SEAFDEC Agriculture Department. 2001.  Pembudidayaan dan Manajemen  Kesehatan Ikan Kerapu.  APEC, Singapore dan SEAFDEC, Iloilo. Philiphines.
Sunyoto, P. dan Mustahal. 2002. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis: Kerapu, Kakap, Beronang. Penebar Swadaya, Jakarta.

10 Oktober 2017

TEKNIK PENETASAN TELUR DAN PENEBARAN LARVA PADA PEMBENIHAN IKAN KERAPU


Sama seperti penanganan telur ikan lainnya, penangan telur ikan kerapu juga sangat penting dilakukan sebelum penebaran telur. Telur yang didapat dari panti benih dimasukkan dalam wadah penetasan telur yang diaerasi.  Wadah penetasan telur dapat berupa akuarium atau fiber glass yang berbentuk persegi atau bundar.  Sebelum telur dimasukan ke dalam wadah penetasan sebaiknya dilakukan aklimasi suhu dan salinitas. Aklimasi sangat penting untuk dilakukan karena telur ikan kerapu sangat sensitif terhadap suhu dan salinitas.  Oleh karena itu sebelum kantong plastik dibuka, kontong plastik yang berisi telur di wadah penetasan telur selama 15-30 menit.  Indikasi suhu air dalam kantong plastik dan suhu air dalam wadah penetasan adalah terjadi pengembunan dalam kantong plastik yang dengan mudah dapat diamati.  Selanjutnya kantong plastik dapat dibuka dan salinitasnya diukur dengan mengunakan refraktometer.
Telur dapat dimasukkan ke dalam wadah penetasan jika salinitas kedua air laut tersebut sama.  Dalam memasukkan telur ke wadah penetasan, harus dilakukan dengan hati-hati dan secara perlahan-lahan baik dengan menuangkan langsung atau dengan menggunakan gayung.  Hal ini dilakukan agar tidak terjadi benturan fisik yang menyebabkan telur menjadi rusak. Setelah itu aerasi dipasang, setelah teraduk sempurna telur dihitung dengan cara sampling. 
Untuk memisahkan telur yang baik dan buruk, telur didiamkan selama 5-10 menit tanpa aerasi.  Telur yang baik berwarna transparan dan akan mengapung di permukaan air, sedangkan telur yang buruk akan mengendap di dasar wadah.  Telur yang mengendap dibuang melalui penyiponan atau membuka kran yang ada di dasar wadah . Telur yang dibuang ditampung dalam ember yang selanjutnya dihitung jumlahnya dengan cara sampling.  
Pembuangan telur yang buruk dilakukan agar telur yang buruk tidak merusak media penetasan telur.  Selanjutnya telur diaerasi, agar telur teraduk secara sempurna.   Pada suhu 29-30oC telur umumnya akan menetas 16-19 jam setelah ovulasi.  Penghitungan jumlah larva dapat dilakukan dengan cara sampling larva dan perhitungannya sama seperti pada perhitungan telur. 
Setelah semua larva menetas maka aerasi dihentikan untuk memisahkan larva yang baik dan buruk.  Sama seperti telur, larva yang baik akan berenang di permukaan sedangkan larva yang buruk akan tetap di dasar wadah.  Larva yang buruk, telur yang tidak menetas dan cangkang telur yang ada di dasar disipon dan dibuang.  Selanjutnya larva yang menetas ditebar ke bak pemeliharaan larva.  Dalam menebar larva dilakukan dengan hati-hati dan perlahan-lahan dengan menggunakan gayung dengan tujuan agar larva tidak stres. Larva ditebar dengan kepadatan 15-20 ekor/l.

Perhitungan persentase telur yang baik dan daya tetas telur sangat penting untuk mengetahui kualitas telur yang didapat.  Pada umumnya jika persentasi jumlah telur yang buruk dan daya tetas larva lebih besar dari 40%  maka kualitas telur dapat dikatakan buruk ini akan berpengaruh terhadap kondisi larva.  Pemeliharaan larva sebaiknya tidak dilanjutkan jika kualitas telur kurang baik.  Hal ini dikarenakan akan timbul banyak permasalahan dalam pemeliharaan larva dan kelangsungan hidup larva akan rendah.

SUMBER:
Sumantadinata K., 2003.  Modul Pemeliharaan Larva sampai Benih Ikan Kerapu Bebek. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

REFERENSI:
Randall, J.E. 1987.  A Preliminary Synopsis of the Groupers (Perciformes, Serranidae, Epinephelinae) of the Indo Pasific Region. In Polovina J.J and S. Ralston (Eds.): Tropical Snapper and Groupers, Biology and Fisheries Management.  Westview Press. Inc. London. 
Subyakto, S. dan S. Cahyaningsih.  2003.  Pembenihan Kerapu Skala Rumah Tangga.  PT Agromedia Pustaka, Depok.
Sunyoto, P. dan Mustahal. 2002. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis: Kerapu, Kakap, Beronang. Penebar Swadaya, Jakarta.

09 Oktober 2017

PERSIAPAN KARAMBA JARING APUNG PADA PEMBENIHAN IKAN KERAPU

PERSIAPAN KARAMBA JARING APUNG PADA PEMBENIHAN IKAN KERAPU



PENGGUNAAN KARAMBA JARING  APUNG

Pendederan benih kerapu biasanya dilakukan pula dalam karamba yang dipasang di dasar perairan pantai yang dangkal atau di perairan hutan bakau. Pada umumnya benih-benih ikan kerapu mengalami dua kali masa pendederan, walaupun dalam beberapa hal benih-benih yang akan dibesarkan dalam jaring apung terkadang hanya sekali saja masa pendederannya.
Ukuran karamba apung yang digunakan 2 x 1 x 0.9 m dengan dinding dari bahan jaring nilon ukuran 2 mm. Karamba diikatkan pada tonggak atau dipasang pada rakit. Kedalaman air pada karamba kurang lebih 50 cm.  Padat tebar pada wadah ini sebanyak 300-500 ekor.
Pendederan ke dua dapat juga dilakukan pada karamba berukuran 2 x 4 x 2 m, dengan menggunakan jaring nilon 210D/6 berukuran mata jaring 15 mm.  Pada ukuran ikan 5-8 cm berpadat tebar 300-400 ekor per wadah dengan masa pemeliharaan 3 bulan dapat dihasilkan ikan berukuran 10 cm.
Sumber air di sepanjang pantai biasanya bermutu baik sehingga tidak perlu diberikan perlakuan (treatment) khusus untuk pengelolaan air.  Hal penting yang harus diperhatikan adalah jaring nilon yang dipakai harus selalu bersih setiap hari.

PENENTUAN  LOKASI
Teknik pendederan dalam karamba sangat ideal untuk diterapkan di perairan pantai yang dangkal dan terlindung, oleh karena itu faktor lokasi yang harus diperhatikan dalam memilih perairan pantai sebagai lokasi pemasangan karamba ikan adalah:
1.   Pertukaran air melalui karamba harus cukup, agar kotoran dan sisa-sisa pakan dapat hanyut ke luar dari dalam karamba serta dapat dijamin konsentrasi oksigen yang larut sekurang-kurangnya 3 ppm.
2.   Kadar garam antara 20-30 ppt.
3.   Bebas dari pencemaran, baik pencemaran yang berasal dari limbah rumah  tangga, limbah industri maupun limbah pertanian.
4.   Tidak banyak predator.
5.   Terlindung dari hembusan angin kuat dan hempasan gelombang besar, sehingga dapat mengurangi resiko kerusakan pada karamba dan peralatan lainnya.

SUMBER:
Sumantadinata K., 2003.  Modul Penyiapan Bak dan Air Pendederan Kerapu Bebek. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.



REFERENSI:
Akbar, S. 2001.  Pemilihan Lokasi Budidaya Pembesaran Kerapu Macan (Ephinephelus fusacogutattus) dan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) di Karamba Jaring Apung.  Balai Budidaya Laut Lampung.  Lampung
Aslianti, T., Wardoyo, J.H. Hutapea, S. Ismi, K.M. Setiawati. 1998.  Pemeliharaan Larva Kerapu Bebek (Cromileptes altivalis) dalam Wadah Berbeda Warna.  Jurnal  Penelitian Perikanan  Pantai, Vol. IV, No. 3: 25-30.
SEAFDEC Agriculture Department. 2001.  Pembudidayaan dan Manajemen  Kesehatan Ikan Kerapu.  APEC, Singapore dan SEAFDEC, Iloilo. Philiphines.
Sunyoto, P. dan Mustahal. 2002. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis: Kerapu, Kakap, Beronang. Penebar Swadaya, Jakarta.

05 Oktober 2017

TEKNIK PENGINOKULASIAN BIBIT DAN PEMUPUKAN SUSULAN PADA BUDIDAYA ROTIFERA (PAKAN ALAMI)


Bibit Rotifera dapat diperoleh dari Panti Benih Brachionus sp. terlihat seperti pada gambar berikut ini:
 Gambar 1. Rotifera, Brachionus sp.

Reproduksi Rotifera secara parthenogenesis dan bergantung pada suhu air. Rotifera bersifat filter feeder sehingga makanannya dapat berupa fitoplankton atau ragi roti. Kepadatan awal fitoplankton dalam media Rotifera minimum terbaik adalah 13–14 x 106 sel/ml. Kepadatan sel Chlorella sp. perlu dipertahankan setiap harinya, sehingga pemberian Chlorella sp. ke dalam bak budidaya Rotifera dilakukan setiap hari. Pada hari pertama budidaya mulai dilakukan, wadah/bak diisi dengan air bersama Chlorellasp., yang berasal dari hasil budidaya Chlorella sp. sebanyak 25% volume bak Rotifera. Lalu Rotifera diinokulasi dengan kepadatan 100 individu/ml media. Keesokan harinya 25% volume Chlorella sp. ditambahkan kembali. Demikian seterusnya sampai hari ke empat. Pada hari ke lima, Rotifera dapat dipanen.
Supaya fitoplankton selalu tersedia, maka pada hari pertama fitoplankton dipanen, yang biasanya dipanen sebanyak 50% volume, bak fitoplankton diisi air tawar kembali; sehingga volume kembali 100%. Air dalam bak Chlorella sp. dipupuk kembali dengan dosis yang sama seperti di awal budidaya dilakukan. Demikian selanjutnya untuk bak Chlorella sp. pada bak
berikutnya pada hari ke dua dan seterusnya. Dengan demikian Chlorella sp. dapat dipanen secara berurutan.
Pada waktu Chlorella sp. dipindahkan dari bak Chlorella sp. ke bak Rotifera dengan menggunakan selang, maka air berisi Chlorella sp. dialirkan melalui kantung plankton net 100 mm untuk mencegah masuknya kotoran dan predator ke bak Rotifera.


Gambar 2. Pemindahan Chlorella ke dalam bak kultur Rotifera

Pada saat populasi Rotifera mencapai puncaknya yaitu pada hari ke 5 setelah inokulasi, Rotifera dapat dipanen dan diberikan ke larva ikan.


SUMBER:
Mokoginta I., 2003.  Modul Budidaya Rotifera - Budidaya Pakan Alami Air Tawar. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.
REFERENSI:
Delbare, D. and Dhert, P. 1996. Cladoecerans, Nematodes and Trocophara Larvae, p. 283 – 295. In Manual on The Production and Use of Live Food (P. Lavens and P. Sorgelos, eds). FAO Fisheries Technical Paper 361.
Sulasingkin, D. 2003. Pengaruh konsentrasi ragi yang berbeda terhadap pertumbuhan populasi Daphnia sp. Skripsi. FPIK. IPB.

04 Oktober 2017

CARA PEMBERIAN PAKAN DAN PEMANENAN PADA BUDIDAYA ROTIFERA (PAKAN ALAMI)


Rotifera adalah zooplankton yang biasa digunakan untuk pakan alami ikan, terutama untuk larva ikan yang ukurannya sangat kecil, seperti pada larva ikan malas (ikan betutu).
Rotifera merupakan pakan awal larva Ikan. Untuk keperluan budidaya Rotifera, kita perlu membudidayakan Chlorella sp terlebih dahulu. Apabila kepadatan Chlorella sp. telah mencapai kepadatan tertinggi maka inokulasi bibit Rotifera ke dalam wadah Chlorella sp. dapat dilakukan.
Pada budidaya Rotifera dengan menggunakan makanan Chlorellasp. maka kepadatan Chlorella sp. pada media budidaya perlu dipertahankan, pada kepadatan 13–14 x 106 sel per ml media setiap hari.
Caranya adalah sebagai berikut. Pada hari pertama, hanya 25% volume bak budidaya Rotifera diisi air dengan Chlorella sp. Pada hari kedua ditambahkan 25%, hari ketiga 25%, hari ke empat 25%. Pada hari ke lima Rotifera dapat dipanen seluruhnya. Budidaya Rotifera dapat dimulai dari awal kembali. Pengamatan kepadatan Rotifera perlu dilakukan setiap hari, untuk melihat apakah populasi Rotifera bertambah.
Pemanenan Rotifera dapat dilakukan seluruhnya pada hari ke 5. Atau pada hari ke 5 Rotifera dipanen sebagian, 50% volume media, kemudian bak budidaya diisi kembali dengan media Chlorella sp. hingga 100% volume. Rotifera dapat dipanen kembali setelah tiga hari bak diisi Rotifera kedua kali. Cara ini hanya berlaku 2–3 kali panen. Pada panen ketiga seluruhnya dipanen dan budidaya Rotifera dimulai kembali dari awal.
Sama seperti pada panen Chlorella sp., pada waktu panen dilakukan, ujung selang diberi plankton net (50 mm) yang harus terendam di dalam ember. Hal ini dilakukan agar tekanan air dari selang berkurang, sehingga Rotifera tidak rusak. Pemanenan dilakukan dengan cara menyiphon air budidaya, yaitu mengeluarkan air dari bak dengan memanfaatkan perbedaan tinggi air, antara air di dalam bak dan di dalam ember. Selama panen, air di ember harus diaerasi.


Gambar 1. Pemanenan Rotifera
SUMBER:
Mokoginta I., 2003.  Modul Budidaya Rotifera - Budidaya Pakan Alami Air Tawar. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

REFERENSI:
Delbare, D. and Dhert, P. 1996. Cladoecerans, Nematodes and Trocophara Larvae, p. 283 – 295. In Manual on The Production and Use of Live Food (P. Lavens and P. Sorgelos, eds). FAO Fisheries Technical Paper 361.
Sulasingkin, D. 2003. Pengaruh konsentrasi ragi yang berbeda terhadap pertumbuhan populasi Daphnia sp. Skripsi. FPIK. IPB.

03 Oktober 2017

PENYIAPAN WADAH DAN MEDIA BUDIDAYA ROTIFERA (PAKAN ALAMI)


 Rotifera adalah zooplankton yang biasa digunakan untuk pakan alami ikan, terutama untuk larva ikan yang ukurannya sangat kecil, seperti pada larva ikan malas (ikan betutu). Rotifera merupakan pakan awal larva Ikan. Untuk keperluan budidaya Rotifera, kita perlu membudidayakan Chlorella sp terlebih dahulu. Apabila kepadatan Chlorella sp. telah mencapai kepadatan tertinggi maka inokulasi bibit Rotifera ke dalam wadah Chlorella sp. dapat dilakukan.

 Gambar 1. Rotifera

Budidaya zooplankton, dalam hal ini Rotifera, merupakan pakan awal larva Ikan. Untuk keperluan budidaya Rotifera, kita perlu membudidayakan Chlorella sp terlebih dahulu. Apabila kepadatan Chlorellasp. telah mencapai kepadatan tertinggi maka inokulasi bibit Rotifera ke dalam wadah Chlorella sp. dapat dilakukan. Atau sebagian Chlorella sp. dipanen dan dipindahkan ke wadah budidaya Rotifera.
Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberi pakan berupa ragi roti pada Rotifera. Berdasarkan penelitian–penelitian yang sudah dilakukan, ternyata Rotifera yang diberi pakan ragi roti dapat menghasilkan populasi sepuluh kali dibandingkan dengan yang diberi fitoplankton. Kedua cara budidaya di atas dapat dilakukan, sebab Rotifera termasuk zooplankton yang bersifat filter feeder yaitu cara makannya dengan menyaring partikel makanan dari media tempat hidupnya.
Beberapa persyaratan lingkungan yang diperlukan Rotifera, antara lain suhu media tidak terlalu tinggi, yang baik sedikit di bawah suhu optimum. Suhu optimum untuk Rotifera Brachionus sp. adalah 25oC, walaupun dapat hidup pada suhu 15–31oC. Selanjutnya pH air di atas 6,6 di alam, namun pada kondisi budidaya biasanya 7,5; ammonia harus lebih kecil dari 1 ppm; oksigen terlarut >1,2 ppm.
Untuk cara budidaya dengan menggunakan Chlorella sp. sebagai pakan Rotifera, maka prosedur penyiapan wadah dan media sama seperti pada budidaya Chlorella sp. Wadah budidaya Rotifera dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Pada saat kepadatan Chlorella sp. mencapai puncak maka dilakukan inokulasi Rotifera; dan sehari (sesaat) sebelumnya pemupukan ulang perlu dilakukan. Tujuannya adalah agar supaya Chlorella sp. segera mendapatkan mineral sebelum populasi fitoplankton kekurangan mineral.

Cara di atas menggunakan wadah budidaya Rotifera yang sama dengan wadah budidaya Chlorellasp. Cara ini mempunyai kelemahan, yaitu dengan adanya pemupukan ulang maka hal ini akan menyebabkan kualitas air kurang baik untuk Rotifera. Cara yang lebih baik adalah dengan membudidayakan Rotifera pada wadah terpisah, dan fitoplankton serta medianya dipanen dari wadah fitoplankton dan dimasukkan ke wadah budidaya Rotifera setiap hari.
Kegiatan pertama untuk budidaya Rotifera adalah menyiapkan wadah yang bersih dan sudah disanitasi. Adapun cara penyiapan wadah dan air untuk budidaya Rotifera ini sama dengan persiapan dan air padabudidaya Chlorella. Jika populasi fitoplankton sudah mencapai puncak maka sebagian fitoplankton bersama media dipindahkan ke wadah Rotifera. Wadah fitoplankton yang sudah berkurang volume airnya, biasanya ditambahkan 50% kembali air tawar, lalu dipupuk ulang.
Penambahan fitoplankton ke wadah Rotifera dilakukan setiap hari. Penambahan dilakukan sampai hari ke 4 dan biasanya pada hari ke 5 panen Rotifera dapat dilakukan. Pada pemindahan Chlorella sp. perlu digunakan saringan berupa kantong penyaring (plankton net) yang lubangnya 100 mm, untuk mencegah kemungkinan terbawanya copepoda, yang nantinya akan memakan Rotifera.
Pada budidaya Rotifera dengan menggunakan Chlorella sp. sebagai pakannya diperlukan wadah/bak budidaya Chlorella sp. dan wadah/bak budidaya Rotifera sebanyak 6 : 1 (dalam volume). Artinya untuk menyiapkan makanan Rotifera dalam satu wadah diperlukan 6 wadah fitoplankton. Hal ini dilakukan karena populasi Chlorella sp. harus disediakan setiap hari untuk makanan Rotifera. Populasi Chlorella sp. akan mencapai puncak 5-6 hari, dan Rotifera 2–3 hari. Artinya untuk satu siklus budidaya Rotifera diperlukan tiga kali panen Chlorella sp., supaya budidaya Rotifera berlanjut maka diperlukan wadahChlorella sp. 2 x 3 wadah, yaitu 6 wadah (volume). Budidaya Rotifera dengan menggunakan Chlorella sp. sebagai pakannya umum dilakukan di Panti Benih ikan karena biayanya murah.

SUMBER:
Mokoginta I., 2003.  Modul Budidaya Rotifera - Budidaya Pakan Alami Air Tawar. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

REFERENSI:
Delbare, D. and Dhert, P. 1996. Cladoecerans, Nematodes and Trocophara Larvae, p. 283 – 295. In Manual on The Production and Use of Live Food (P. Lavens and P. Sorgelos, eds). FAO Fisheries Technical Paper 361.
Sulasingkin, D. 2003. Pengaruh konsentrasi ragi yang berbeda terhadap pertumbuhan populasi Daphnia sp. Skripsi. FPIK. IPB.

02 Oktober 2017

KOMPONEN TANAMAN MANGROVE


Unsur dominan dalam hutan mangrove adalah pohon – pohon yang tumbuh dan tingginya mencapai lebih dari 30 meter, memiliki tajuk (canopy) lebar, rapat dan tertutup. Banyak juga species tumbuhan dan fauna lain yang atau eksklusif yang menempati hutan mangrove. Topografi setempat dan karakteristik hidrologi, tipe dan komposisi bahan kimia dari tanah dan pasang surut menentukan tipe ekosisitem mangrove yang dapat dibuktikan pada tempat – tempat tertentu.
Flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana dan zonasi yang kompleks tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan.
Chapman (1984), mengelompokan mangrove menjadi 2 kategori yaitu :
a.    Flora mangrove Inti, yaitu mangrove yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi mangrove yang terdiri dari jenis : Rhizophora, bruguiera, Ceriops, Kandelia, Soneratia, Avicenia, Nypa, Xylocarpus, Deris, Acanthus, Lumnitzera, Scyphyphora, dan Dolichandron.
b.    Flora mangrove pheripheral (pinggiran) yaitu flora mangrove secara ekologi berperan dalam formasi mangrove, tetapi juga flora tersebut berperan penting dalan formasi hutan lain. Jenisnya antara lain; Exoecaria agallocaAcrosticum auerum, Cerbera manghas, Heritiera littoralis, Hibiscus tilliaceus
Tomlinson (1984) membagi flora mangrove menjadi 3 kelompok, yaitu :
a.    Kelompok mayor, komponen ini memperlihatkan karakteristik morfologi, seperti : sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologis khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan mangrove. Komponennya adalah pemisahan taksonomi dari hubungan daratan dan hanya terjadi dihutan mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluas sampai kedalam komunitas daratan. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa
b.    Kelompok minor (tumbuhan pantai), dalam kelompok ini tidak termasuk elemen yang mencolok dari tumbuh – tumbuhan yang mungkin terdapat disekitar habitatnya dan yang jarang berbentuk tegakan murni.
c.    Kelompok asosiasi mangrove, dalam komponen ini jarang ditemukan species yang tumbuh didalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam tumbuh – tumbuhan darat.

A.   Cara Pengenalan Jenis Mangrove
Secara umum, ada 4 (empat) cara dalam mengenal suatu jenis flora, yaitu (a) bertanya kepada orang yang ahli, (b) mencocokkan dengan herbarium yang telah diidentifikasi, (c) membandingkan dengan gambar dan deskripsi yang terdapat pada buku flora, dan (d) menggunakan kunci identifikasi. Karakter yang digunakan dalam pengenalan suatu jenis adalah karakter morfologi yang bersifat khas dan mantap. Oleh karena itu, setiap yang ingin mengenal jenis flora, termasuk mangrove, minimal memiliki pengetahuan tentang morfologi tumbuhan.
Dalam berbagai buku taksonomi, identifikasi didasarkan pada morfologi bunga dan buah, namun sulit diaplikasikan di lapangan, mengingat tidak setiap waktu dijumpai bagian bunga dan buah. Oleh karena itu, pengenalan berdasarkan karakter morfologi dari bagian vegetatif, seperti akar, batang, daun, dan getah banyak dikembangkan yang tidak bergantung pada keberadaan bagian generatif.
Flora mangrove dapat dikenali berdasarkan karakteristik morfologi dari setiap bagian penyusunnya, seperti akar, batang, daun, bunga dan buah. Saat ini, pengenalan jenis flora mangrove juga dapat mengacu pada buku panduan atau publikasi terkait floristik mangrove yang telah tersedia, seperti Ding Hou (1958), Mabberley et al (1995), Tomlinson (1996), Kusmana et al. (1997, 2003), Kitamura et al. (1997), Noor et al. (1999), dan Onrizal et al. (2005). Dalam berbagai publikasi tersebut, karakter yang sering digunakan adalah perawakan (habitus), tipe akar, daun, bunga, dan buah.
Berdasarkan perawakannya, flora mangrove dibagi ke dalam lima kategori, yaitu: pohon (tree), semak (shrub), liana (vine), paku/palem (fern/palm), dan herba/rumput (herb/grass). Flora mangrove memiliki sistem perakaran yang khas, sehingga bisa digunakan untuk pengenalan di lapangan. Bentuk-bentuk perakaran tumbuhan mangrove yang khas tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Akar pasak (pneumatophore). Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang keluar ke arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avicennia, Xylocarpus dan Sonneratia.
b.    Akar lutut (knee root). Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan substrat kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar lutut seperti ini terdapat pada Bruguiera spp.
c.    Akar tunjang (stilt root). Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat padaRhizophora spp.
d.    Akar papan (buttress root). Akar papan hampir sama dengan akar tunjang tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng, mirip struktur silet. Akar ini terdapat pada Heritiera.
e.    Akar gantung (aerial root). Akar gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung terdapat pada Rhizophora, Avicennia danAcanthus.











Gambar 1. Bentuk-bentuk perakaran tumbuhan yang sering dijumpai
                  di hutan mangrove.


(a)    akar tunjang, (b) akar lutur, (c) akar pasak(d) akar papan


Sumber:


Basuki. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN